01 April 2008

Tour de East Java, Satu-satunya Balapan Kalender UCI di Indonesia

Bertahan di Tengah Minimnya Dana
Tak semua negara punya even balap sepeda yang masuk kategori UCI (uni balap sepeda internasional). Indonesia hanya punya Tour de East Java (TdEJ) yang bertahan dengan segala keterbatasannya.
----

PADA dekade 1980-an, Indonesia sempat memiliki Tour de Java. Lomba kayuh pedal cepat itu cukup bisa go international.

Beberapa pembalap Asia dan Eropa ikut ambil bagian dalam even yang membela Pulau Jawa itu. Sayang, agenda tersebut agal bertahan.

Harapan insan balap sepeda pun kembali timbul pada 1993 setelah adanya Tour de Indonesia. Tour de Indonesia juga masuk kalender UCI. Namun, mulai 2000 hingga 2006, pelaksanaan lomba itu mulai pasang surut. Setelah 2001-2003 ajang tersebut tidak dilaksanakan, terakhir pada 2007 ajang itu tak lagi bisa eksis.

Melihat kenyataan itu, Satra Harijanto Tjondrokusumo, Sekum Pengprov ISSI Jatim, mengaku pada 2001 bersama beberapa orang dari Jatim mulai berusaha merintis TdEJ. Demi kesempurnaan, lomba balapan yang selalu dilangsungkan dalam lima etape itu baru bisa dilaksanakan pada 2005.

"Kami terus belajar dengan menggelar lebih dari lima kali piala bupati dan wali kota. Baru setelah yakin, kami mulai melakukan pendekatan dengan UCI," tegasnya.

Hari -sapaan karib Satra Harijanto Tjondrokusumo- menyatakan, faktor suksesnya penyelenggaraan ajang pertama itu juga berkat dukungan secara langsung Gubenur Jatim Imam Utomo. Cikal bakal TdEJ memang diprakarsai Imam, yang kini juga menjabat ketua KONI Jatim.

"Pada 1999 Pak Imam bersama ISSI menggelar Tour de Jatim sebagai even pemanasan untuk PON XV Jatim," lanjut Hari. Even yang bernuansa kental budaya Jatim itu akhirnya menjiwai penyelengaraan TdEJ hingga saat ini.

Tapi, tak mudah mempertahankan lomba yang harus memenuhi banyak standar yang ditetapkan otoritas balap sepeda internasional untuk tetap bertahan di grade 2.2 UCI di tengah berbagai cobaan yang menerpa itu. Banyak kendala dan cobaan yang menghadang penyelenggaraan TdEJ.

Dari tahun ke tahun dana menjadi salah satu kendala utama. Sebab, memang sedikit sulit menarik sponsor swasta dan instansi terkait untuk mendukung penyelenggaraan even tersebut.

"Saya juga yakin kendala serius yang dihadapi panitia TdI adalah dana. Jika tidak ada sponsor, ajang itu sudah pasti gagal digelar," tuturnya.

Memang, untuk mengadakan ajang sekelas TdEJ, dibutuhkan dana ideal sekitar Rp 3 miliar. Menurut Hari, sebenarnya sponsor hanya kurang menyadari betapa pentingnya even itu untuk mempromosikan pariwisata Jatim.

"Namun, setelah dilakukan pendekatan intensif, semua berubah. Kini karena mereka jugalah, ajang ini mampu eksis hingga saat ini," jelas Hari.

Untuk hadiah saja, panitia harus menyediakan uang tunai Rp 500 juta. Selain itu, panpel haru menyediakan team car atau satu kendaraan untuk akomodasi setiap tim.

Hotel dan konsumsi peserta lomba juga menjadi tanggungan panpel. "Gaji, akomodasi, dan konsumsi untuk 3 comissare international dan 11 commissare juga menjadi tanggungan kami," imbuhnya.

Belum lagi kelengkapan lomba, seperti alat yang digunakan sebagai sensor pembalap saat memasuki garis finis, yang harus disediakan panpel. Alat tersebut dinamakan automatic result system atau foto finis. Sirkuit yang memadai, kemamanan yang mendukung, ruang pers, dan berbagai prasyarat lain yang memerlukan banyak biaya juga menjadi kewajiban yang harus dipenuhi.

jawapos.com

Tidak ada komentar: