24 Maret 2008

Ke Sepang Ikut Rayakan Sepuluh Tahun Grand Prix Malaysia

Staf Sirkuit Bangga Ikut Harumkan Nama Negara
Grand Prix Malaysia sudah berlangsung sepuluh kali. Suasana di sana memang tidak seheboh momen istimewanya. Tapi bagi para staf Sirkuit Sepang, banyak kenangan yang membuat mereka bangga. Berikut catatan Dewo Pratomo, kontributor Jawa Pos yang hadir nonton lomba tersebut.
-------------

Upaya ekstra dilakukan penyelenggara untuk membuat Grand Prix Malaysia kesepuluh lebih heboh dari tahun-tahun sebelumnya. Pihak Sepang International Circuit (SIC) mencoba jemput bola, membuka counter tiket lebih banyak dari biasanya di kawasan Kuala Lumpur (KL).

Di kawasan Bukit Bintang, ada dua counter yang buka mulai jam 10 pagi sampai 10 malam. Salah satunya di First Cup Café, yang di-branding abis dengan even istimewa itu. Seluruh pegawainya mengenakan seragam sepuluh tahun SIC.

Ketika saya di sana Jumat (21/3) malam lalu, tampak Fazilan An Taher, calon penonton asal Aceh sedang membeli paket tiket Hill Stand (duduk di bukit rumput) plus t-shirt sepuluh tahun SIC. "Supaya tidak salah kostum," kata penggemar Fernando Alonso itu.

Fazilan nonton bersama delapan orang teman. Dia mengaku sudah ke Sepang tiga kali, tapi tidak ingin melewatkan momen sepuluh tahun lomba tersebut. "Saya berharap Indonesia kelak juga bisa punya balap F1," ucapnya.

Sebelum ke sirkuit, saya sebenarnya punya harapan tinggi. Setelah tujuh kali nonton F1 di Sepang (plus dua kali MotoGP dan sekali Japan GT), saya membayangkan suasana dan layout baru di kawasan pengunjung (mal area). Ternyata, materi yang ditampilkan hampir sama dengan yang sudah-sudah. Praktis hanya stan Petronas dan Mercedes-Benz yang sangat luas dan mewah.

Yang baru paling stan Kangaroo TV, persewaan televisi portable yang menangkap komplet aksi di lintasan, lengkap dengan data dan timing yang selama ini hanya tersedia untuk perwakilan tim dan media.

Meski ini sudah hampir tiga tahun tersedia untuk F1, tapi baru sekarang disewakan untuk umum di Malaysia. Ongkosnya memang tidak murah. Satu hari USD 40 (sekitar Rp 360 ribu), paket tiga hari latihan sampai lomba USD 60 (Rp 540 ribu). Untuk sewa, harus deposit dulu USD 400 atau Rp 3,6 juta. Meski mahal, tampak banyak orang masuk untuk menyewanya.

Seperti biasa, di mal area Sepang, kita akan bertemu banyak F1 Mania asal Indonesia. Ada dua orang, Deni asal Jakarta dan Aswari Rifai asal Palembang, yang mengaku pernah hadir ketika lomba ini kali pertama diselenggarakan pada 1999. Mereka ternyata juga tidak terlalu kagum dengan perayaan sepuluh tahun ini. Sambil bisik-bisik, Deni bilang layanan publik seperti toilet tidak ada perubahan, malah terkesan menurun kualitasnya.

Bila penonton tidak terlalu terkesan dengan perayaan sepuluh tahun ini, tidak demikian dengan para staf sirkuit. Setelah bertahun-tahun, saya memang telah kenal banyak manajer sirkuit. Khususnya dari sisi promosi. Beberapa di antaranya sudah bekerja di SIC sejak 1999, dan mereka mengaku bangga dapat mengikuti perjalanan sepuluh tahun ini.

Sebut saja Fyreen Hanim Kamarul Ariffin (public relations executive), Ismadi (sponsorship manager), Norazlin Misman (senior officer, sales department), Azlan Akil (manager advertising & promotions), dan beberapa lainnya.

Kata mereka, dulu warga Malaysia tak terlalu kenal F1. Jangankan lomba di Sepang, siaran televisi saja belum tentu ada. Penonton lomba pada tahun pertama mayoritas (sekitar 70 persen) adalah warga asing, khususnya bule Eropa. Sekarang, sudah banyak warga lokal dan penonton dari negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

Anak-anak di bawah 15 tahun, yang dulu masih sangat kecil atau belum lahir, sekarang sudah kenal dekat tentang F1. "Strategi promosi kami akan mengarahkan race ini sebagai bagian dari piknik keluarga," kata Azlan.

Norazlin, seorang ibu muda, menegaskan bahwa dia bangga bisa ikut mengharumkan nama negara, walaupun dulu sama sekali tidak mengenal dan tidak suka F1.

Satu lagi teman yang saya kenal di Sepang adalah Shuhainie Shamsudin. Hingga 2004, dia adalah senior manager marketing communications SIC. Setelah itu pindah ke perusahaan induk sirkuit, Kuala Lumpur International Airport (KLIA), yang letaknya bersebelahan.

Shuhainie punya kenangan manis di Sepang. Pada 1999, dia sebenarnya bekerja sebagai director of sales sebuah hotel bintang lima di KL. Ketika ingin mengajak SIC bekerja sama, dia malah ditawari pekerjaan. Karena pekerjaan baru itu bertaraf internasional, dia pun menerimanya.

Shuhainie mengaku harus kerja ekstra keras, karena bergabung hanya sekitar 40 hari dar jadwal lomba. Dia ikut menyusun rencana promosi, penjualan tiket, sampai menyiapkan even pendukung lomba. "Rasanya mau gila waktu itu. Rasanya 24 jam sehari tidak cukup," tuturnya.

Dia mengakui, masih banyak kekurangan pada even perdana itu. Dia harus menerapkan plan A, B, C, bahkan D. Tapi semua rasa lelah sirna begitu even berakhir. Grand Prix Malaysia 1999 terpilih sebagai lomba dengan penyelenggaraan terbaik tahun itu.

Shuhainie mengaku makin lega ketika melihat Perdana Menteri (waktu itu) Mahathir Mohammad menyerahkan trofi kepada para pemenang. "Seolah-olah beban yang sangat berat hilang begitu saja," akunya.

Satu hal yang dia petik dari bekerja di lingkungan F1: Dia jadi terbiasa bekerja dengan pola cepat ala mobil F1. Sesuatu bisa berubah begitu cepat tanpa kompromi.

Kemarin, berakhir sudah GP Malaysia kesepuluh. Seperti apa ke depannya? Apakah lomba ini bakal tenggelam oleh gemerlapnya lomba malam di Singapura? Hanya waktu dan kemauan (kerja maupun finansial) yang bisa menjawab.

Para staf sendiri mengaku yakin tidak akan terpengaruh. Azlan mengingatkan, Sepang masih punya rencana untuk memasang lampu, ikut menjadi lomba malam tahun depan. Kita menunggu.

jawapos.com

Tidak ada komentar: